Mengapa Banyak Pendatang Asing Tanpa Izin Bekerja di Malaysia
Malaysia telah lama menjadi salah satu negara tujuan utama bagi pekerja migran dari berbagai negara, khususnya dari kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan. Namun, tidak sedikit dari mereka yang datang dan bekerja tanpa dokumen atau izin resmi, yang dikenal sebagai Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI). Keberadaan PATI ini menimbulkan berbagai tantangan, baik dari sisi keamanan, ekonomi, maupun sosial. Untuk memahami fenomena ini secara menyeluruh, perlu ditinjau berbagai faktor yang mendorong tingginya jumlah PATI di Malaysia.
Pertama, Tekanan Ekonomi di Negara Asal. Faktor ekonomi merupakan alasan paling mendasar mengapa banyak orang nekat menjadi PATI. Di negara asal seperti Indonesia, Bangladesh, Myanmar, dan Nepal, tingkat kemiskinan dan pengangguran masih cukup tinggi, terutama di kawasan pedesaan. Banyak warga di daerah tersebut kesulitan memperoleh pekerjaan yang layak atau penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam kondisi seperti ini, bekerja ke luar negeri menjadi satu-satunya jalan yang dianggap realistis, meskipun harus menempuh jalur ilegal.
Kedua, Permintaan Tenaga Kerja Murah di Malaysia. Malaysia merupakan negara yang sedang berkembang pesat dan memiliki banyak proyek pembangunan infrastruktur serta sektor industri yang membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar. Sayangnya, tidak semua pekerjaan tersebut diminati oleh penduduk lokal, khususnya pekerjaan kasar dengan upah rendah seperti buruh konstruksi, pekerja ladang sawit, atau pembantu rumah tangga. Akibatnya, banyak majikan atau perusahaan yang secara sengaja merekrut tenaga kerja asing, termasuk yang tidak memiliki izin, karena mereka dinilai lebih murah, mudah diatur, dan tidak banyak menuntut hak-haknya.
Kettiga, Biaya dan Proses Legal yang Rumit. Salah satu kendala terbesar dalam proses migrasi tenaga kerja adalah mahal dan rumitnya proses legalisasi. Untuk bisa bekerja secara sah di Malaysia, seorang calon pekerja harus melalui berbagai tahap seperti pengurusan paspor, visa kerja, pemeriksaan medis, serta pembayaran biaya kepada agen resmi. Proses ini tidak hanya memakan waktu, tetapi juga mengharuskan pekerja mengeluarkan biaya yang cukup besar. Banyak dari mereka yang tidak mampu menanggung biaya tersebut akhirnya memilih jalur tidak resmi sebagai alternatif.
Keempat, Lemahnya Pengawasan dan Praktik Korupsi. Perbatasan Malaysia yang luas, khususnya yang berbatasan langsung dengan Indonesia (seperti di Sabah dan Sarawak), menjadi salah satu celah masuknya PATI. Selain itu, praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum aparat atau petugas imigrasi di kedua belah pihak seringkali mempermudah lalu lintas masuknya pekerja tanpa dokumen. Dalam beberapa kasus, PATI juga masuk ke Malaysia dengan visa turis, lalu menetap dan bekerja setelah masa berlaku visanya habis, tanpa pengawasan yang ketat dari pihak berwenang.
Kelima, Pengaruh Jaringan Sosial dan Agen Ilegal. Banyak PATI yang tidak datang sendirian, melainkan melalui bantuan teman, kerabat, atau agen tenaga kerja ilegal. Jaringan sosial seperti ini memiliki pengaruh yang besar dalam mendorong orang lain untuk ikut merantau. Mereka seringkali memberi gambaran yang meyakinkan tentang peluang kerja di Malaysia, tanpa menjelaskan risiko atau kondisi sebenarnya. Agen ilegal juga turut mengambil keuntungan dari kondisi ini, dengan menjanjikan pekerjaan di Malaysia secara cepat dan tanpa prosedur rumit, meski kenyataannya seringkali mengeksploitasi para pekerja.
Keenam, Desakan Kebutuhan Hidup dan Harapan Masa Depan. Pada akhirnya, keputusan untuk menjadi PATI tidak lepas dari keinginan memperbaiki nasib dan memberi kehidupan yang lebih baik bagi keluarga. Banyak dari mereka yang rela menanggung risiko hukum, kerja paksa, bahkan penipuan demi bisa mengirimkan uang ke kampung halaman. Harapan akan masa depan yang lebih baik menjadi kekuatan pendorong yang sangat besar, meskipun jalannya penuh bahaya dan ketidakpastian.
Keberadaan Pendatang Asing Tanpa Izin di Malaysia adalah permasalahan kompleks yang tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan tunggal. Diperlukan kerja sama antara negara pengirim dan penerima dalam membenahi sistem migrasi tenaga kerja agar lebih adil dan transparan. Di sisi lain, peningkatan pengawasan, reformasi proses perizinan, dan pemberantasan agen ilegal juga harus dilakukan secara konsisten. Yang tak kalah penting, negara-negara asal perlu meningkatkan kualitas hidup dan menyediakan lapangan kerja yang layak agar warganya tidak merasa terpaksa mencari nafkah di luar negeri dengan cara yang berisiko.
-Kunan



